Dinsos Lombok Timur Usulkan 152 Calon Siswa Sekolah Rakyat

Dinsos Lombok Timur

Dinsos Lombok Timur – Di tengah gemuruh narasi kemiskinan struktural yang tak kunjung reda, Dinas Sosial Lombok Timur membuat gebrakan yang cukup menarik perhatian: mereka mengusulkan sebanyak 152 calon siswa untuk mengikuti program Sekolah Rakyat. Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar seperti kabar gembira, secercah cahaya di tengah gelapnya ketimpangan akses pendidikan. Tapi tunggu dulu, benarkah ini langkah konkrit? Atau justru hanya formalitas yang berulang—program yang terlihat manis di permukaan, namun hambar dan membingungkan di dalamnya?

Sekolah Rakyat bukanlah hal baru. Sejak awal di perkenalkan, program ini di rancang untuk memberikan akses pendidikan alternatif bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, anak putus sekolah, atau mereka yang terpinggirkan dari sistem pendidikan formal. Namun, sejauh mana efektivitasnya? Sejauh mana pemerintah daerah benar-benar memastikan bahwa program ini lebih dari sekadar angka-angka dalam laporan tahunan?

152 Nama, Tapi Apa Jaminannya?

Dinsos Lombok Timur – Angka 152 terdengar besar. Namun di tengah jumlah warga miskin Lombok Timur yang terus bertambah, apakah itu cukup? Dalam realitanya, kita harus jujur mengakui bahwa banyak anak di Lombok Timur masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang mengunci akses mereka terhadap pendidikan layak. Mengusulkan mereka sebagai “calon siswa” adalah satu hal, tetapi menjamin bahwa mereka benar-benar akan mendapatkan pendidikan yang bermutu adalah perkara lain yang jauh lebih kompleks.

Kita harus mempertanyakan secara kritis: siapa yang di seleksi? Berdasarkan kriteria apa? Apakah proses pendataan di lakukan dengan seksama, atau hanya berdasarkan data lama yang usang dan tak lagi relevan dengan kondisi terbaru di lapangan slot bet kecil? Apakah para calon siswa ini mendapatkan pembekalan, fasilitas belajar, dan tenaga pengajar yang mumpuni, atau mereka hanya akan “di didik” dalam format seadanya, yang justru bisa memperdalam stigma bahwa pendidikan alternatif adalah pendidikan kelas dua?

Peran Dinsos: Penggerak Perubahan atau Pemadam Kebakaran?

Dinas Sosial, dalam kapasitasnya, memang bertugas menjembatani warga rentan dengan berbagai program bantuan pemerintah. Tapi di balik itu, publik berhak untuk menilai: apakah Dinsos benar-benar berperan sebagai penggerak perubahan sosial, atau sekadar pemadam kebakaran yang sibuk menambal kebocoran sistem tanpa pernah menyentuh akar persoalan?

Pengusulan 152 siswa ini seharusnya bukan hanya soal angka. Ini soal nasib. Soal masa depan. Soal apakah anak-anak dari keluarga termiskin sekalipun memiliki hak yang sama untuk bermimpi dan meraih pendidikan yang layak. Jika Dinsos hanya menjadi birokrasi yang memproses data tanpa menyentuh kualitas pendidikan yang di berikan, maka program ini tak ubahnya sekadar proyek musiman yang berakhir tanpa hasil nyata.

Sekolah Rakyat: Solusi Inklusif atau Pelarian dari Sistem?

Dinsos Lombok Timur – Sekolah Rakyat selama ini di kenal sebagai bentuk pendidikan alternatif. Tapi kata “alternatif” di sini sering kali punya makna ganda. Di satu sisi, ia menjadi harapan bagi mereka yang tak bisa masuk ke sistem pendidikan formal. Tapi di sisi lain, ia bisa menjadi jebakan sistemik—menjadi jalan pintas negara untuk lepas tangan dari tanggung jawabnya menyediakan pendidikan formal yang layak dan inklusif.

Apakah Sekolah Rakyat di Lombok Timur sudah memenuhi standar pedagogi yang layak? Apakah kurikulumnya sudah di sesuaikan dengan kebutuhan lokal dan perkembangan zaman? Atau masih berkutat pada metode usang dengan materi yang tidak relevan dengan tantangan abad 21? Lebih jauh lagi, apakah lulusan Sekolah Rakyat punya kesempatan yang setara untuk melanjutkan pendidikan atau masuk ke dunia kerja?

Suara Anak Miskin: Di dengar atau Dilibas?

Dalam narasi besar pembangunan, suara anak-anak miskin sering kali hanya jadi catatan kaki. Mereka jarang di libatkan dalam proses perumusan kebijakan yang menyangkut masa depan mereka. Mereka di anggap objek, bukan subjek. Termasuk dalam program seperti Sekolah Rakyat ini. Berapa banyak dari mereka yang benar-benar di tanya keinginannya? Berapa banyak dari mereka yang paham apa yang akan mereka hadapi di “sekolah” ini?

Jika Sekolah Rakyat hanya di posisikan sebagai tempat menampung “sisa-sisa sistem”, maka kita sedang membangun kasta pendidikan yang semakin memperkuat ketimpangan. Kita tidak sedang memberdayakan mereka, kita justru sedang menempatkan mereka lebih jauh dari garis kesetaraan.

Waktunya Bertindak, Bukan Sekadar Mengusulkan

Pemerintah daerah, dalam hal ini Dinsos Lombok Timur, perlu lebih dari sekadar mengusulkan angka-angka. Yang di butuhkan adalah komitmen penuh. Tidak cukup dengan rapat dan data. Yang di perlukan adalah pengawasan nyata, evaluasi menyeluruh, pelibatan masyarakat, serta transparansi dalam pelaksanaan. 152 calon siswa itu bukan sekadar nama. Mereka adalah nyawa, harapan, dan masa depan. Jangan biarkan mereka menjadi korban dari program-program setengah hati yang di bungkus jargon mulia. Jangan biarkan mereka terjebak dalam sistem pendidikan alternatif yang tak menjanjikan apa-apa selain ketidakpastian.

Baca juga: https://puskaalquran-uinjambi.com/

Masyarakat sipil, media, dan organisasi lokal harus aktif mengawasi. Jangan beri ruang bagi ketidakterbukaan. Dorong adanya transparansi dalam penunjukan guru, kurikulum, dan metode belajar. Pastikan bahwa Sekolah Rakyat benar-benar menjadi ruang pembebasan, bukan sekadar ruang pelarian. Karena pendidikan bukan soal formalitas, melainkan soal keadilan. Dan keadilan hanya bisa di tegakkan jika suara yang paling lemah sekalipun mendapatkan tempat terhormat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *